Kamis, 13/09/2012
Padang, Padek—Peringatan dini sejumlah ahli, aktivis lingkungan hidup dan mahasiswa pecinta alam bakal terjadinya galodo (banjir bandang susulan) usai bencana 24 Juli lalu, menjadi kenyataan. Hujan deras yang mengguyur Kecamatan Pauh, Padang, sejak pukul 14.00 WIB, memicu galodo akibat meluapnya Danau Kariang berjarak 30 meter di perbukitan hulu Batang Kuranji sekitar pukul 16.30 WIB, kemarin (12/9).
Hujan deras juga memicu longsor di tiga titik lokasi di kawasan Lambuangbukik, Patamuan, Batubusuk. Informasi yang dihimpun Padang Ekspres di lokasi longsor, enam rumah warga tertimbun longsor. Tepatnya di RT I, II dan IV. Dilaporkan empat orang warga di RT IV RW III tertimbun longsor dan satu orang hilang. Dua warga yang tertimbun longsor ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.
Kedua korban tewas itu Jamaris alias Ami, 55, dan Najwa, 6,5. Sekitar pukul 23.55, jasad Ami dan Najwa sudah dievakuasi menggunakan ambulans ke rumah saudaranya di Kototuo, Pauh.
Dua korban tertimbun belum ditemukan sampai pukul 01.00, yakni anak Ami bernama Nila, 25 dan Silfa, 1,5. Nila merupakan etek dari Salfa dan Najwa (keduanya kakak beradik). Sedangkan korban hilang diketahui bernama Buyung, 57. Dia hilang saat menggembala sapi.
Informasi yang diperoleh Padang Ekspres, sebelum longsor orangtua Salfa dan Najwa bernama Em, 32, dan istrinya Juli, 32, sedang ke luar rumah. Mereka menitipkan kedua anaknya ke rumah Ami. Malang bagi keluarga Ami, ternyata rumahnya tertimbun longsor. Istri Ami bernama Warni, 45, dilaporkan selamat dalam kejadian itu.
Laporan Radio Antarpenduduk Indonesia (RAPI) Padang, tim SAR gabungan bersama warga setempat menghentikan pencarian sekitar pukul 00.40. “Pencarian dihentikan atas permintaan tokoh masyarakat setempat,” kata anggota RAPI Padang, Mukhtisar.
Sampai tadi malam, kondisi Batubusuk masih mencekam. Tidak ada penerangan. Jalan perkampungan sepanjang 5 km dipenuhi material longsoran setinggi mata kaki. Dua alat berat berupa eskavator belum bergerak, karena belum ada perintah dari pejabat pemerintah.
Rendam Ribuan Rumah
Sementara itu, galodo merendam ribuan rumah warga setengah meter hingga lebih satu meter di kawasan Batubusuk, Kotopanjang dan Limaumanih, Alai Pauh di Kecamatan Pauh, serta di Kecamatan Nanggalo meliputi daerah Gurunlaweh dan Tabing Banda Gadang. Di kawasan tersebut ratusan warga diungsikan.
Di Pauh, saat ketinggian air yang baru mencapai setinggi pinggang orang dewasa, ratusan warga berbondong-bondong pergi ke tempat ketinggian untuk menyelamatkan diri bersama keluarga. Warga yang tinggal di Kotopanjang Pauh sempat terisolasi, karena tidak bisa menyeberang ke Limaumanih akibat jembatan penghubung dua daerah itu putus diterjang galodo Juli lalu dan belum selesai diperbaiki. Beberapa jam kemudian, mereka berhasil dievakuasi tim BPBD, SAR dan Dinas Pemadam Kebakaran Padang menggunakan seutas tali.
Saat itu, warga yang terdiri ibu-ibu, anak-anak, dan para orangtua tersebut bersusah payah sambil terus memegang tali. Pasalnya, saat mereka menyeberang, arus Batang Kuranji sangat deras menyeret tubuh mereka. “Kami harus mengungsi sekarang. Kalau tidak, kami akan terjebak seperti kejadian galodo Juli lalu. Kami akan mengungsi sampai air sudah kecil, rencananya kami mengungsi di Masjid Raya Limaumanih, karena masjid itu berada di ketinggian,” ujar Neti, 50, kepada Padang Ekspres.
Wanita yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu, menyebutkan, tahun lalu dia dan keluarganya sempat terjebak galodo yang sangat menakutkan dan membuat anggota keluarganya trauma hingga kini. Diakuinya, semula air Batang Kuranji masih tenang sekitar pukul 15.00. Setelah itu, air Batang Kuranji mulai berubah warna dari bening jadi cokelat, setelah dilanda hujan deras disertai petir.
Warga yang melihat adanya perubahan tersebut, mengambil keputusan mengungsi. Namun, deru air semakin kuat. Ia dan warga lain tidak bisa menyeberang lagi akibat jembatan yang putus Juli lalu belum bisa dilalui. Mujur, tim BPBD, Basarnas tiba di lokasi menyeberangkan warga dengan tali tambang yang diikat di sisi kiri dan kanan sungai. Wakil Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah tampak turun ke lokasi galodo sejak sore.
Sementara, warga yang tinggal dekat pinggir sungai di kawasan Batubusuk seluruhnya telah mengungsi ke tempat ketinggian, tepatnya di SD Semen Padang, dekat PLTA Pauh. Selain itu, dinding batu baronjong sepanjang bantaran bendungan Gunungnago, Kelurahan Lambungbukit, juga terancam hanyut.
Selain merendam rumah warga, luapan air Batang Kuranji juga menggenangi jalan raya, sehingga arus transportasi dari dan ke kampus Unand Limaumanih, tepatnya di Pasarbaru tidak bisa dilewati kendaraan. Ratusan mahasiswa Unand yang kos di kawasan itu, tampak kalang kabut mengemasi barang-barang agar tidak terendam air yang terus meninggi. Galodo yang mengalir deras ke muara sungai, juga merendam rel kereta api sehingga kereta api yang membawa rangkaian gerbong semen BB 3038403 terpaksa berhenti.
Selain Pauh, galodo juga kembali menerjang kawasan padat penduduk di Kecamatan Nanggalo, yakni Kelurahan Gurunlaweh. Di tempat itu, tepatnya di dekat SMAN 12, banjir mencapai lutut orang dewasa. Warga mengungsi ke Masjid Baitul Makmur dengan membawa barang seadanya dan beberapa surat berharga.
Pelaksana Tugas Harian (PLH) Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padang, Yunisman mengatakan, warga di Kelurahan Tabiang Banda Gadang sudah diungsikan dengan perahu karet. Di sini, ketinggian air mencapai dada orang dewasa. “Satu unit rumah milik warga RT I/ RW II di Kelurahan Gurunlaweh, dekat SMAN 12 Padang, terbawa arus galodo, sementara Kelurahan Gadut ketinggian air mencapai lutut orang dewasa,” katanya.
Saat ini, ada tiga lokasi dijadikan tempat pengungsian. Yakni Masjid Raya Limaumanih, SD Semen Padang, dan Masjid Baitul Makmur, di Kelurahan Gurunlaweh, Batugadang, Kecamatan Nanggalo. Camat Pauh, Dasmizar Tayib mengatakan telah memerintahkan lurah setempat mendistribusikan makanan untuk warga.
Global Warming
Kepala Observasi dan Informasi, BMKG Ketaping, Padangpariaman, Syafrizal menerangkan, cuaca ekstrem melanda Padang beberapa hari terakhir diperkirakan akibat global warming (pemanasan global). Curah hujan di atas rata-rata normal ini akan terjadi hingga dua bulan ke depan. Puncaknya diperkirakan terjadi November mendatang dengan rata-rata 400 mm setiap bulan.
Namun begitu, dia menegaskan bahwa galodo di Pauh bukan saja karena tingginya curah hujan, tapi lebih akibat maraknya penebangan hutan secara liar di daerah tersebut. “Penyebab banjir bandang itu banyak faktor. Bisa juga akibat penggundulan hutan. Jadi, kita minta warga untuk waspada terhadap bencana banjir dan tanah longsor,” serunya.
Manager Pusdalop Sumbar Ade Edwar mengingatkan masyarakat tetap siaga darurat, karena kondisi belum aman. ”Ancaman (galodo) masih ada,” ujar Ade, tadi malam. Galodo di Padang kali ini tidak terlalu melimpah ke permukiman seperti banjir bandang 24 Juli lalu, karena air laut sedang surut.
Degradasi Fungsi DAS
Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar menyebutkan, galodo terjadi akibat penurunan fungsi lahan di daerah aliran sungai (DAS) yang tak mampu lagi menyerap air secara sempurna. “Saya sangat menyesalkan adanya pernyataan sejumlah pengambil kebijakan yang mengatakan galodo 24 Juli lalu karena fenomena alam biasa. Jika pemerintah sudah mengeluarkan statement seperti itu, sama artinya pemerintah pasrah dengan keadaan dan membiarkan masyarakatnya jadi korban akibat bencana,” kritik Direktur Walhi Sumbar, Khalid Saifullah.
Wali Kota Padang, Fauzi Bahar berjanji mengusut pelaku penebangan hutan di lokasi tersebut dengan melibatkan TNI dan Polri untuk menangkap pelaku pembalakan liar tersebut. “Saya sangat berterima kasih sekali dengan informasi yang diberikan pencinta alam (Sekber PA Sumbar). Saya memang berencana akan naik ke atas bukit untuk menelurusi material banjir bandang yang masih tersisa. Namun karena padatnya agenda, saya belum sempat melakukan. Sepulang saya dari Pekanbaru nanti, saya akan langsung naik ke atas untuk melihat sisa-sisa material galodo tersebut,” janjinya.
Intake PDAM Terganggu
Galodo juga mengakibatkan tiga intake (pintu air) utama PDAM Padang kembali terganggu. Yakni, intake Latung di Lubuk Minturun, Kampungkoto di Gunungpangilun dan Guo Kuranji. Akibatnya, pasokan air ke pelanggan sejak sore kemarin (12/9), terganggu. Intake Latung yang memasok air ke IPA Latung, merupakan sumber produksi air bersih untuk masyarakat di Wilayah Utara yakni, Kototangah, Padang Utara, Kuranji, Nanggalo.
Kemudian intake Guo Kuranji merupakan sumber produksi air untuk wilayah Belimbing dan Kuranji. Lanjutnya, intake Kampungkoto produksi IPA Gunungpangilun, memasok air untuk kawasan pusat Kota Padang.
Direktur Teknik PDAM Kota Padang, Suloko bersama Direktur Umum, Edwar yang langsung meninjau lokasi intake Kampungkoto kemarin mengungkapkan, saat ini untuk IPA Guo Kuranji, mati total. Untuk IPA Gunungpangilun, saat ini pasokan air hanya lima puluh persen.
Tingkat kekeruhan air baku juga sangat tinggi. Air baku di Batang Kuranji, Batang Guo, ataupun Batang Airdingin penuh lumpur dan material lainnya, seperti kayu gelondongan, batu dan lainnya. “Dengan kondisi yang seperti itu, kita khawatir intake kita tertimbun material. Kita harus tunggu air berkurang untuk bisa memperbaikinya,” tambah Suloko.
Untuk pemulihan pelayanan pendistribusian air, pascaperbaikan intake produksi biasanya butuh waktu 6-12 jam untuk pendistribusian air di jaringan perpipaan.
Bila kerusakan intake berlanjut, diperkirakan lebih 50 persen pelanggan PDAM terganggu. Ada sekitar 50.000 pelanggan yang akan terganggu, terutama di kawasan pusat kota dan utara Padang.
Sebelumnya, akibat galodo 24 Juli lalu, empat intake utama PDAM juga rusak, yakni intake Guo Kuranji, intake Ulu Gadut, intake Jawa Gadut, dan intake Kampungkoto. Saat itu, total kerugian PDAM sekitar Rp 8,2 miliar. “Saat ini intake-intake tersebut masih berupa perbaikan darurat, dan belum dibangun permanen,” pungkas Edwar.
Sebelumnya, beberapa peneliti Indonesia yang tergabung dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas, Pemko Padang, dan Pemprov Sumbar yang melakukan penelitian pasca-galodo 24 Juli lalu, menemukan bahwa galodo tersebut terjadi akibat bendungan alam di anak sungai Limaumanih, Bukit Barisan.
Peneliti dari UGM Salahuddin Husein sebagaimana dilansir National Geographic mengungkapkan ada peristiwa unik yang terjadi pada galodo di Padang ini. Penyempitan lembah aliran sungai rawan pembendungan alami. Material permukaan seperti tanah, batuan, dan batang pepohonan, mampu membentuk bendung alam di bagian yang sempit, pada akhirnya akan menimbulkan pengumpulan massa air di bagian hulu.
“Ketinggian air hulu kritis, bendungan alam tersebut dapat saja runtuh oleh kekuatan gravitasi yang bekerja pada massa air yang besar dan memicu terjadinya banjir bandang di bagian hilir aliran sungai,” ujar Salahuddin.
Bahkan, setelah galodo menyapu area persawahan dan permukiman 24 Juli lalu, ditemukan bekas endapan banjir yang diduga berusia ratusan tahun. Endapan banjir lama ini, kata Salahuddin Husein, mestinya tidak boleh digunakan untuk permukiman karena alih fungsi lahan menghidupkan kembali banjir yang lama.
Sedangkan Faisal Fathani, anggota tim peneliti lainnya mengingatkan perlunya usaha mitigasi untuk mengurangi risiko bencana. Dengan penataan alur sungai, penataan daerah hulu, dan penerapan sistem peringatan dini. Penataan alur sungai dilakukan dengan mempertahankan sempadan sungai dan fungsi badan sungai. Mengamankan tebing sungai dari bahaya longsor serta pembuatan tanggul atau bangunan lain sebagai perlindungan terhadap elevasi muka air tinggi.
Sementara itu, untuk penataan daerah hulu perlu pengawasan ketat kegiatan penebangan hutan di sekitar daerah tangkapan serta realisasi dari wacana pembangunan waduk pengendali banjir di hulu sungai-sungai.
Sebelumnya, Sekber Pencinta Alam Sumbar melakukan ekspedisi ke hulu sungai Batang Kuranji pada 31 Agustus hingga 3 September. Hasil ekspedisi itu, Sekber PA telah mengingatkan ancaman galodo karena kawasan perbukitan di hulu Batang Kuranji telah gundul.
Tinggalkan Balasan